Minggu, 05 April 2009

PARPOL,PENDIDIKAN POLITIK DAN PEMILIH PEMULA


Written by Agung SS Raharjo, Peneliti Pusat Studi Pancasila UGM


Pendahuluan
Dunia politik realitasnya akan selalu lekat dalam dimensi kehidupan manusia. Perwujudannya akan selalu bisa ditemui dalam skala yang besar hingga skala yang terkecil. Tentu dengan tingkat variasi kajian yang berbeda antara satu dimensi dengan dimensi lain. Nah, dalam kurun waktu akhir-akhir ini tentu kita sudah bisa rasakan begitu kuatnya resonansi politik yang hadir menuju perhelatan akbar pemilu tahun mendatang (2009). Partai-partai politik nampak sudah mulai sibuk mempersiapkan diri dengan berbagai aktivitas yang berorientasi pada penguatan citra dan sosialisasi untuk menarik massa. Keadaan sosial ekonomi bangsa yang belum begitu banyak beranjak dari keterpurukannya nampaknya masih akan menjadi “barang dagangan” yang cukup menarik untuk ditawarkan. Disamping masih banyaknya potensi tema kebangsaan yang lain yang masih cukup menarik untuk diperdagangkan kepada khalayak umum. Tak ketinggalan juga sebentuk kesadaran yang semakin meng-kolektif terhadap wacana kepemudaan yang kian mencuat kuat diinternal para elit politik di negeri ini. Cepat atau lambat pasti akan muncul tarikan-tarikan yang cukup kuat antar partai politik di negeri ini untuk menggiring generasi muda kedalam wadah politik yang bertujuan untuk memfasilitasi berbagai kepentingan mereka saat itu maupun dalam akses jangka panjang. Tentu tujuan-tujuan itu akan lebih banyak bersifat praksis ketimbang sesuatu yang lebih ideologis, meski tidak semua akan menunjukan perwajahan yang melulu begitu.
Political Education

Nah, disinilah perlu diletakkan secara dini akan arti penting pendidikan politik bagi pemilih (voter education) Dalam kajian kali ini lebih mengarah kepada pendidikan pemilih pemula yang sebagian masih duduk di bangku sekolah. Di sadari atau tidak hingga detik ini dunia politik masih meletakkan generasi ini sebagai objek sasar saja. Budaya ini bukanlah kebiasaan sikap yang hadir begitu saja. Politik bukan urusan pelajar, begitu kira-kira kebijakan itu bisa terbaca. Tentulah kebijakan ini syarat dengan berbagai alasan yang menguntungkan secara sepihak yakni pemerintah. Barangkali bisa kita raba secara perlahan bahwa kehadiran kebijakan ini tidak lain menginginkan terhapuskannya kekritisan generasi muda terhadap pemerintah. Romansa sejarah waktu itu yang telah memberikan cerita yang mengesankan akan peran pelajar, seperti PII. Kekritisan dan stabilitas negara selalu menjadi rival yang masih menjadi sesuatu sulit didamaikan. Pemuda yang lekat dengan karakter agent of change nampaknya di upayakan sedemikian rupa agar tidak berurusan dengan kehidupan politik. Pelajar ya tugasnya belajar titik. Tidak perlu memperdulikan urusan BBM naik, biaya sekolah naik,maraknya tindak korupsi, dsb. Seabrek kebijakan politis yang tidak populis sekali lagi bukan urusan mereka. Kekritisan yang sebenarnya melibatkan kepekaan sosial pelajar tidak diizinkan sedemikian rupa. Kekritisan yang melibatkan kecerdasan moral pelajar juga dianggap sesuatu yang tidak wajar. Daya kritis itu dipaksakan untuk hilang, yang tetap kritis selalu akan di cap sebagai anak yang bermasalah,berstigma negatif. Bahkan tidak sedikit orang tua yang melarang anaknya untuk terlibat dalam aktivitas politik lantaran hadirnya kesan negatif bahwa politik itu kotor. Di sinilah pendidikan politik dikalangan pelajar belum mendapatkan apresasi yang cukup serta memadai dari berbagai pihak termasuk para elit partai politik.

Dari Objek ke Subjek

Keberadaan kalangan pemilih pemula telah menjadi objek kajian politis bagi hitungan pemilu mendatang. Kurang lebih 20% pemilih pemula, yang merupakan generasi muda, akan menjadi sasaran empuk bagi para partai politik yang ada. Tentu hal ini tidak akan disia-siakan begitu saja, lantaran jumlahnya yang cukup signifikan. Pemilih pemula menjadi ladang emas suara bagi keseluruahan partai politik. Siapapun itu yang bisa merebut perhatian kalangan ini tentu akan bisa dirasakan keuntungannya. Lahirnya dukungan dari kelompok ini secara tidak langsung membawa dampak pencitraan yang sangat berarti. Setidaknya untuk pengamanan proses regenerasi kader politk itu sendiri kedepan, meski membutuhkan maintenance cost yang tidak sedikit juga. Ketiadaan dukungan dari kalangan ini tentu akan terasa cukup merugikan bagi target-target suara pemilu yang telah ditetapkan tiap-tiap parpol. Namun demikian objek kajian politis ini semestinya tidak berhenti pada kerangka hitungan. Jauh lebih mendalam yakni meletakkan komponen ini pada kerangka pendidikan politik yang lebih mencerdaskan. Kini perlu ada pembenahan sudut pandang didalam menempatkan kalangan tersebut pada ruang politik yang lebih luas. Apa itu? Yakni meletakkan pelajar sebagai subjek pendidikan politik itu sendiri, tidak melulu sebagai objek politik. Selama ini, secara umum, pemuda (pelajar) sebagaimana masyarakat umum selalu menjadi objek politik. Mereka hanya dilirik untuk hitungan suara saja, tidak lebih. Hal ini tentu mengakibatkan tidak tercapainya tujuan pendidikan politik itu sendiri selama ini, yakni pencerdasan politik. Tidak bermaksud menafikkan progress perbaikan kesadaran politik yang ada, salah satu fakta yang masih bisa di temui, masih didapatinya pemilih yang sekedar memilih atau asal ikut tanpa diikuti dengan kepahaman dan kesadaran. Penggunaan hak politik nampaknya tidak diiringi dengan pendidikan politik (politic education) yang memadai. Akibatnya bisa dirasakan ketiadaan kesadaran politik yang hadir disetiap kenampakan partisipasi yang mereka lakukan. Hal ini tidak lebih dari sekedar aksi ritual yang lebih mensyaratkan untuk digugurkan, tanpa makna, semoga bukan sebagai aksi apatisme akut akibat kejenuhan emosional karena sering di tipu oleh para elit. Selama sudut pandang ini tidak mengalami perubahan, sudah bisa dipastikan hanya akan memicu lahirnya “eksploitasi politik” dikalangan pemilih pemula ini.Selamanya mereka hanya akan menjadi objek penderita, dan objek kepentingan dari sekelompok golongan yang menginginkan dukungan suara semata. Habis manis sepah dibuang.Beberapa bulan terakhir telah begitu banyak partai politik yang telah menetapkan kalangan pelajar, pemilih pemula, sebagai target dukungan suara. Partai-partai politik secara terbuka mensosialisikan dirinya melalui media massa menyatakan siap merangkul kalangan ini. Fasilitasi-fasilitasi yang dikhususkan untuk kalangan pemuda disiapkan sedemikian rupa memungkinkan mereka untuk berekspresi sesuai minat dan hobi. Secara mengejutkan beberapa partai politik telah menyiapkan serangkaian program yang cukup fantastis untuk bisa menarik minat pelajar untuk terlibat secara aktif. Terlepas begitu banyaknya program yang dibuat yang terpenting saat ini untuk diketahui apakah program-program ini telah memiliki tujuan pendidikan politik yang jelas?. Apakah hasilnya bisa terukur secara kualitatif selain hitungan kuantitif pada waktu pencoblosan ?. Setidaknya ada beberapa hal yang mesti menjadi out put dari program-program tersebut untuk diperhatikan, pertama mampu menumbuhkan kesadaran berpolitik sejak dini. Kedua, mampu menjadi aktor politik dalam lingkup peran dan status yang disandang. Ketiga, memahami hak dan kewajiban politik sebagai warga negara secara baik. Keempat, secara bijak mampu menentukan sikap dan aktivitas politiknya.

Penutup

Sebenarnya ada harapan yang begitu besar terhadap generasi penerus bangsa ini untuk siap meneruskan tongkat estafet kekuasaan. Pada hakikatnya politik bukan untuk ditakuti atau dijauhi selayaknya barang haram. Politik hanya perlu dibersihkan dari hal-hal yang bersifat negatif. Politik bukan identik dengan kelicikan dan penipuan. Politik juga bukan ekspresi penindasan dan ketidakadilan. Semua citra negatif yang terbangun harus diminimalisir. Politik harus tetap membangun eksistensi moralitasnya sendiri. Politik bagaimanapun juga tidak bisa dilepaskan begitu saja dari nilai-nilai kemanusiaan. Baik pemilih pemula secara khusus maupun masyarakat secara umum harus diletakkan sebagai subjek politik. Semoga bangsa ini akan menuai generasi penerus yang memiliki kesadaran berpolitik tanpa meninggalkan hati nurani sebagai manusia. Tetap kritis dengan sikap dan ide yang tetap konstruktif. Akhirnya bangsa ini akan mampu mewujudkan kehidupan yang lebih layak. Wallahu’alam bish showab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar