Senin, 06 April 2009

Refleksi Pendidikan Bersama Paulo Freire


SECARA kebetulan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei bertepatan dengan meninggalnya filosof pendidikan terkemuka abad ke-20, Paulo Freire, pada 2 Mei 1997. Tulisan ini dimaksudkan sebagai renungan memperingati Hardiknas dengan mendiskusikan pemikiran Freire dan kemungkinan dikontekstualisasikan di Indonesia.Untuk menggambarkan betapa pentingnya Freire dalam dunia pendidikan bisa disimak dari statemen Moacir Gadotti dan Carlos Alberto Torres (1997) "Educators can be with Freire or against Freire, but not without Freire." Pernyataan ini menunjukkan signifikansi Freire dalam diskursus pendidikan di dunia, termasuk di Indonesia (ada sembilan buku yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia). Sebagai seorang humanis-revolusioner, Freire menunjukkan kecintaannya yang tinggi kepada manusia. Dengan kepercayaan ini ia berjuang untuk menegakkan sebuah dunia yang "menos feio, menos malvado, menos desumano" (less ugly, less cruel, less inhumane).Mengapa Freire punya banyak pengikut? Menurut kesaksian Martin Carnoy (1998), dikarenakan dia mempunyai arah politik pendidikan yang jelas. Inilah yang membedakannya dengan Ivan Illich. Arah politik pendidikan Freire berporos pada keberpihakan kepada kaum tertindas (the oppressed). Kaum tertindas ini bisa bermacam- macam, tertindas rezim otoriter, tertindas oleh struktur sosial yang tak adil dan diskriminatif, tertindas karena warna kulit, jender, ras, dan sebagainya.Paling tidak ada dua ciri orang tertindas. Pertama, mereka mengalami alienasi dari diri dan lingkungannya. Mereka tidak bisa menjadi subyek otonom, tetapi hanya mampu mengimitasi orang lain.Kedua, mereka mengalami self-depreciation, merasa bodoh, tidak mengetahui apa-apa. Padahal, saat mereka telah berinteraksi dengan dunia dan manusia lain, sebenarnya mereka tidak lagi menjadi bejana kosong atau empty vessel, tetapi telah menjadi makhluk yang mengetahui. Pertanyaannya, bagaimana mengemansipasi mereka yang tertindas?Untuk menjawab pertanyaan itu, Freire berangkat dari konsep tentang manusia. Baginya, manusia adalah incomplete and unfinished beings. Untuk itulah manusia dituntut untuk selalu berusaha menjadi subyek yang mampu mengubah realitas eksistensialnya. Menjadi subyek atau makhluk yang lebih manusiawi, dalam pandangan Freire, adalah panggilan ontologis (ontological vocation) manusia.Sebaliknya, dehumanisasi adalah distorsi atas panggilan ontologis manusia. Filsafat pendidikan Freire bertumpu pada keyakinan, manusia secara fitrah mempunyai kapasitas untuk mengubah nasibnya.Dengan demikian, tugas utama pendidikan sebenarnya mengantar peserta didik menjadi subyek. Untuk mencapai tujuan ini, proses yang ditempuh harus mengandaikan dua gerakan ganda: meningkatkan kesadaran kritis peserta didik sekaligus berupaya mentransformasikan struktur sosial yang menjadikan penindasan itu berlangsung. Sebab, kesadaran manusia itu berproses secara dialektis antara diri dan lingkungan. Ia punya potensi untuk berkembang dan mempengaruhi lingkungan, tetapi ia juga bisa dipengaruhi dan dibentuk oleh struktur sosial atau miliu tempat ia berkembang. Untuk itulah emansipasi dan transendensi tingkat kesadaran itu harus melibatkan dua gerakan ganda ini sekaligus.Idealitas itu bisa dicapai jika proses pembelajaran mengandaikan relasi antara guru/dosen dan peserta didik yang bersifat subyek-subyek, bukan subyek- obyek. Tetapi, konsep ini tidak berarti hanya menjadikan guru sebagai fasilitator an sich, karena ia harus terlibat (bersama- sama peserta didik) dalam mengkritisi dan memproduksi ilmu pengetahuan.Guru, dalam pandangan Freire, tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada anak didik, tetapi mereka harus memerankan dirinya sebagai pekerja kultural (cultural workers). Mereka harus sadar, pendidikan itu mempunyai dua kekuatan sekaligus: sebagai aksi kultural untuk pembebasan atau sebagai aksi kultural untuk dominasi dan hegemoni; sebagai medium untuk memproduksi sistem sosial yang baru atau sebagai medium untuk mereproduksi status quo.Jika pendidikan dipahami sebagai aksi kultural untuk pembebasan, maka pendidikan tidak bisa dibatasi fungsinya hanya sebatas area pembelajaran di sekolah. Ia harus diperluas perannya dalam menciptakan kehidupan publik yang lebih demokratis. Untuk itu, dalam pandangan Freire, "reading a word cannot be separated from reading the world and speaking a word must be related to transforming reality." Dengan demikian, harus ada semacam kontekstualisasi pembelajaran di kelas. Teks yang diajarkan di kelas harus dikaitkan kehidupan nyata. Dengan kata lain, harus ada dialektika antara teks dan konteks, teks dan realitas.PELAJARAN yang bisa ditarik Freire untuk konteks pendidikan kita paling tidak adalah komitmennya terhadap kaum marjinal. Lewat perspektif Freirean kita bisa bertanya: kepada siapa sesungguhnya pendidikan kita saat ini berpihak? Apakah negara sudah sungguh-sungguh mengamalkan salah satu pasal UUD 1945 kita yang berbunyi "anak-anak telantar dipelihara oleh negara"? Mengapa ada kesenjangan yang luar biasa tinggi dalam pendidikan kita, di satu sisi ada sekolah yang luar biasa mahal, dengan fasilitas lengkap, dan hanya orang kaya yang mampu menyekolahkan anaknya ke sekolah itu, namun di sisi yang lain ada sekolah dengan fasilitas seadanya yang dihuni kaum marjinal?Bukankah dengan membiarkan kesenjangan itu terus berlangsung sama dengan membenarkan tesisnya Samuel Bowles dan Herbert Gintis dalam Schooling in Capitalist America (1976), bahwa sekolah hanya berfungsi sebagai alat untuk melayani kepentingan masyarakat dominan dalam rangka mempertahankan dan mereproduksi status quo?Ada dua kelompok kaum marjinal yang tereksklusi dan jarang mendapatkan perhatian serius oleh publik dalam hal pendidikan:Pertama, penyandang cacat. Kelompok ini termasuk mereka yang kurang beruntung mendapatkan pendidikan yang memadai. Mereka mengalami apa yang disebut segregasi pendidikan. Pendidikan mereka dibedakan dengan kaum "normal." Segregasi pendidikan ini telah berlangsung sekian lama dengan asumsi, mereka yang cacat tidak mampu bersaing dengan yang normal karena ada bagian syaraf tertentu yang tidak bisa bekerja maksimal.Jika asumsi ini benar, bukankah tugas sekolah untuk memaksimalkan mereka yang tidak mampu? Jika ada yang tidak mampu, mengapa solusinya dengan cara pengeksklusian, bukan dengan pemberdayaan? Jika asumsi itu salah, bukankah itu sama saja menutup peluang mereka untuk mendapat pendidikan yang sama seperti yang diperoleh orang normal? Tidakkah ini berarti diskriminasi?Dampak lain dari segregasi pendidikan adalah para penyandang cacat menjadi terasing dari lingkungan sosial, mereka tereksklusi dari sistem sosial orang-orang normal. Jadilah mereka sebagai warga kelas dua. Anak-anak normal juga tidak mendapat pendidikan pluralitas yang memadai. Bagaimana mereka bisa berempati dan bersimpati kepada penyandang cacat, jika mereka tidak pernah bergaul dengan kelompok ini karena hanya bergaul dengan sejenisnya di sekolah.Kedua, anak-anak jalanan. Secara kuantitas kelompok ini kian banyak, terutama di kota-kota besar. Mereka adalah kaum miskin kota dan sudah terbiasa dengan kekerasan, seks dan mabuk-mabukan. Di mana peran negara dalam memberi pendidikan yang layak buat mereka? Meski negara bukan satu-satunya aktor yang bertanggung jawab, tetapi bukankah negara telah diamanati UUD?Jika kita memakai perspektif Paulo Freire, kunci utama agar kedua kelompok itu bisa menjadi subyek yang otonom dan bisa mengkritisi realitas eksistensialnya adalah dengan cara mengembangkan kesadaran kritisnya dan mentransformasi struktur sosial yang tidak adil.Kaum marjinal harus diyakinkan bahwa mereka berhak dan mampu menentukan nasib sendiri, berhak mendapatkan keadilan, berhak melawan segala bentuk diskriminasi.Saya pesimistis jika kedua kelompok itu telah terakomodir secara maksimal dalam RUU Sisdiknas. Jarang sekali mereka disinggung dalam perdebatan RUU ini. Karena itu, sudah saatnya kita memperhatikan sungguh-sungguh masa depan kedua kelompok ini. Pendidikan kita sudah seharusnya berpihak kepada mereka, bukan mengabdi kepentingan masyarakat dominan.


M Agus Nuryatno Staf pengajar Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, sedang belajar di McGill University

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/05/opini/275458.htm

Minggu, 05 April 2009

PARPOL,PENDIDIKAN POLITIK DAN PEMILIH PEMULA


Written by Agung SS Raharjo, Peneliti Pusat Studi Pancasila UGM


Pendahuluan
Dunia politik realitasnya akan selalu lekat dalam dimensi kehidupan manusia. Perwujudannya akan selalu bisa ditemui dalam skala yang besar hingga skala yang terkecil. Tentu dengan tingkat variasi kajian yang berbeda antara satu dimensi dengan dimensi lain. Nah, dalam kurun waktu akhir-akhir ini tentu kita sudah bisa rasakan begitu kuatnya resonansi politik yang hadir menuju perhelatan akbar pemilu tahun mendatang (2009). Partai-partai politik nampak sudah mulai sibuk mempersiapkan diri dengan berbagai aktivitas yang berorientasi pada penguatan citra dan sosialisasi untuk menarik massa. Keadaan sosial ekonomi bangsa yang belum begitu banyak beranjak dari keterpurukannya nampaknya masih akan menjadi “barang dagangan” yang cukup menarik untuk ditawarkan. Disamping masih banyaknya potensi tema kebangsaan yang lain yang masih cukup menarik untuk diperdagangkan kepada khalayak umum. Tak ketinggalan juga sebentuk kesadaran yang semakin meng-kolektif terhadap wacana kepemudaan yang kian mencuat kuat diinternal para elit politik di negeri ini. Cepat atau lambat pasti akan muncul tarikan-tarikan yang cukup kuat antar partai politik di negeri ini untuk menggiring generasi muda kedalam wadah politik yang bertujuan untuk memfasilitasi berbagai kepentingan mereka saat itu maupun dalam akses jangka panjang. Tentu tujuan-tujuan itu akan lebih banyak bersifat praksis ketimbang sesuatu yang lebih ideologis, meski tidak semua akan menunjukan perwajahan yang melulu begitu.
Political Education

Nah, disinilah perlu diletakkan secara dini akan arti penting pendidikan politik bagi pemilih (voter education) Dalam kajian kali ini lebih mengarah kepada pendidikan pemilih pemula yang sebagian masih duduk di bangku sekolah. Di sadari atau tidak hingga detik ini dunia politik masih meletakkan generasi ini sebagai objek sasar saja. Budaya ini bukanlah kebiasaan sikap yang hadir begitu saja. Politik bukan urusan pelajar, begitu kira-kira kebijakan itu bisa terbaca. Tentulah kebijakan ini syarat dengan berbagai alasan yang menguntungkan secara sepihak yakni pemerintah. Barangkali bisa kita raba secara perlahan bahwa kehadiran kebijakan ini tidak lain menginginkan terhapuskannya kekritisan generasi muda terhadap pemerintah. Romansa sejarah waktu itu yang telah memberikan cerita yang mengesankan akan peran pelajar, seperti PII. Kekritisan dan stabilitas negara selalu menjadi rival yang masih menjadi sesuatu sulit didamaikan. Pemuda yang lekat dengan karakter agent of change nampaknya di upayakan sedemikian rupa agar tidak berurusan dengan kehidupan politik. Pelajar ya tugasnya belajar titik. Tidak perlu memperdulikan urusan BBM naik, biaya sekolah naik,maraknya tindak korupsi, dsb. Seabrek kebijakan politis yang tidak populis sekali lagi bukan urusan mereka. Kekritisan yang sebenarnya melibatkan kepekaan sosial pelajar tidak diizinkan sedemikian rupa. Kekritisan yang melibatkan kecerdasan moral pelajar juga dianggap sesuatu yang tidak wajar. Daya kritis itu dipaksakan untuk hilang, yang tetap kritis selalu akan di cap sebagai anak yang bermasalah,berstigma negatif. Bahkan tidak sedikit orang tua yang melarang anaknya untuk terlibat dalam aktivitas politik lantaran hadirnya kesan negatif bahwa politik itu kotor. Di sinilah pendidikan politik dikalangan pelajar belum mendapatkan apresasi yang cukup serta memadai dari berbagai pihak termasuk para elit partai politik.

Dari Objek ke Subjek

Keberadaan kalangan pemilih pemula telah menjadi objek kajian politis bagi hitungan pemilu mendatang. Kurang lebih 20% pemilih pemula, yang merupakan generasi muda, akan menjadi sasaran empuk bagi para partai politik yang ada. Tentu hal ini tidak akan disia-siakan begitu saja, lantaran jumlahnya yang cukup signifikan. Pemilih pemula menjadi ladang emas suara bagi keseluruahan partai politik. Siapapun itu yang bisa merebut perhatian kalangan ini tentu akan bisa dirasakan keuntungannya. Lahirnya dukungan dari kelompok ini secara tidak langsung membawa dampak pencitraan yang sangat berarti. Setidaknya untuk pengamanan proses regenerasi kader politk itu sendiri kedepan, meski membutuhkan maintenance cost yang tidak sedikit juga. Ketiadaan dukungan dari kalangan ini tentu akan terasa cukup merugikan bagi target-target suara pemilu yang telah ditetapkan tiap-tiap parpol. Namun demikian objek kajian politis ini semestinya tidak berhenti pada kerangka hitungan. Jauh lebih mendalam yakni meletakkan komponen ini pada kerangka pendidikan politik yang lebih mencerdaskan. Kini perlu ada pembenahan sudut pandang didalam menempatkan kalangan tersebut pada ruang politik yang lebih luas. Apa itu? Yakni meletakkan pelajar sebagai subjek pendidikan politik itu sendiri, tidak melulu sebagai objek politik. Selama ini, secara umum, pemuda (pelajar) sebagaimana masyarakat umum selalu menjadi objek politik. Mereka hanya dilirik untuk hitungan suara saja, tidak lebih. Hal ini tentu mengakibatkan tidak tercapainya tujuan pendidikan politik itu sendiri selama ini, yakni pencerdasan politik. Tidak bermaksud menafikkan progress perbaikan kesadaran politik yang ada, salah satu fakta yang masih bisa di temui, masih didapatinya pemilih yang sekedar memilih atau asal ikut tanpa diikuti dengan kepahaman dan kesadaran. Penggunaan hak politik nampaknya tidak diiringi dengan pendidikan politik (politic education) yang memadai. Akibatnya bisa dirasakan ketiadaan kesadaran politik yang hadir disetiap kenampakan partisipasi yang mereka lakukan. Hal ini tidak lebih dari sekedar aksi ritual yang lebih mensyaratkan untuk digugurkan, tanpa makna, semoga bukan sebagai aksi apatisme akut akibat kejenuhan emosional karena sering di tipu oleh para elit. Selama sudut pandang ini tidak mengalami perubahan, sudah bisa dipastikan hanya akan memicu lahirnya “eksploitasi politik” dikalangan pemilih pemula ini.Selamanya mereka hanya akan menjadi objek penderita, dan objek kepentingan dari sekelompok golongan yang menginginkan dukungan suara semata. Habis manis sepah dibuang.Beberapa bulan terakhir telah begitu banyak partai politik yang telah menetapkan kalangan pelajar, pemilih pemula, sebagai target dukungan suara. Partai-partai politik secara terbuka mensosialisikan dirinya melalui media massa menyatakan siap merangkul kalangan ini. Fasilitasi-fasilitasi yang dikhususkan untuk kalangan pemuda disiapkan sedemikian rupa memungkinkan mereka untuk berekspresi sesuai minat dan hobi. Secara mengejutkan beberapa partai politik telah menyiapkan serangkaian program yang cukup fantastis untuk bisa menarik minat pelajar untuk terlibat secara aktif. Terlepas begitu banyaknya program yang dibuat yang terpenting saat ini untuk diketahui apakah program-program ini telah memiliki tujuan pendidikan politik yang jelas?. Apakah hasilnya bisa terukur secara kualitatif selain hitungan kuantitif pada waktu pencoblosan ?. Setidaknya ada beberapa hal yang mesti menjadi out put dari program-program tersebut untuk diperhatikan, pertama mampu menumbuhkan kesadaran berpolitik sejak dini. Kedua, mampu menjadi aktor politik dalam lingkup peran dan status yang disandang. Ketiga, memahami hak dan kewajiban politik sebagai warga negara secara baik. Keempat, secara bijak mampu menentukan sikap dan aktivitas politiknya.

Penutup

Sebenarnya ada harapan yang begitu besar terhadap generasi penerus bangsa ini untuk siap meneruskan tongkat estafet kekuasaan. Pada hakikatnya politik bukan untuk ditakuti atau dijauhi selayaknya barang haram. Politik hanya perlu dibersihkan dari hal-hal yang bersifat negatif. Politik bukan identik dengan kelicikan dan penipuan. Politik juga bukan ekspresi penindasan dan ketidakadilan. Semua citra negatif yang terbangun harus diminimalisir. Politik harus tetap membangun eksistensi moralitasnya sendiri. Politik bagaimanapun juga tidak bisa dilepaskan begitu saja dari nilai-nilai kemanusiaan. Baik pemilih pemula secara khusus maupun masyarakat secara umum harus diletakkan sebagai subjek politik. Semoga bangsa ini akan menuai generasi penerus yang memiliki kesadaran berpolitik tanpa meninggalkan hati nurani sebagai manusia. Tetap kritis dengan sikap dan ide yang tetap konstruktif. Akhirnya bangsa ini akan mampu mewujudkan kehidupan yang lebih layak. Wallahu’alam bish showab

DILEMA OTONOMI PENDIDIKAN

Catatan Dari Seminar Otonomi Pendidikan Nasional 2001 SMFSUI
Oleh : Agung Pramanto
Otonomi pendidikan khususnya otonomi perguruan tinggi yang dasar hukumnya adalah Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 1999 yang muncul bersamaan dengan ketentuan otonomi daerah sebenarnya mengandung hal-hal yang positif. Otonomi itu sendiri dapat diartikan suatu keadaan yang independen, bebas, atau tidak terikat. Dalam konteks pendidikan khususnya perguruan tinggi otonomi itu dapat dikaitkan dengan kebebasan akademik yang artinya sebuah institusi perguruan tinggi bebas mengelola pendidikannya sendiri sesuai dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapainya. Bagi perguruan tinggi negeri yang selama ini masih bergantung kepada pemerintah, dengan adanya otonomi maka PTN atau harus bisa menjalankan sistem pendidikannya secara mandiri dengan tidak sepenuhnya lagi bergantung kepada pemerintah. Otonomi ini juga dianggap sebagai tuntutan kemajuan zaman bahkan persiapan menuju era globalisasi dan pasar bebas yang mau tidak mau akan kita masuki. Singkatnya, otonomi PTN atau otonomi kampus memiliki tujuan untuk mewujudkan sistem pendidikan yang lebih baik demi menghasilkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang handal di masa mendatang. Dan sebagai tahap awal dari realisasinya, empat PTN yaitu UI, ITB, IPB, dan UGM akan dijadikan pilot project dari pelaksanaan otonomi kampus.
Tetapi, otonomi kampus yang belum sepenuhnya berjalan dan masih lebih banyak berada dalam tataran konsep telah menimbulkan permasalahan-permasalahan, khususnya ketidaksetujuan pada banyak kalangan mahasiswa. Walaupun dalam otonomi itu terdapat banyak aspek yang mempengaruhi sistem pendidikan, namun yang paling disorot dalam otonomi kampus adalah permasalahan yang sangat klasik yaitu soal dana. Dengan adanya otonomi yang diartikan penghentian ketergantungan kepada pemerintah, juga diartikan bahwa perguruan tinggi harus dapat mencari sember pendanaan sendiri untuk menjalankan pendidikannya. Masalah pun timbul karena untuk mencukupi anggaran dana untuk pendidikannya pergurun tinggi terpaksa harus menaikkan biaya pendidikan, dan inilah yang diprotes oleh kalangan mahasiswa dan menganggap otonomi malah menimbulkan beban yang berat dari segi finansial karena ketidakkreatifan dari birokrat kampus dalam mencari dana dan akhirnya dibebankan kepada mahasiswa. Di UI sendiri, hal ini pun telah dirasakan oleh para mahasiswa mulai angkatan ’99 di mana mereka dikenakan Dana Peningkatan Kualitas Pendidikan (DPKP) sebesar Rp 1.000.000,00 untuk fakultas-fakultas eksakta dan Rp 750.000,00 untuk fakultas-fakultas noneksakta yang harus dibayar setiap semester selain SPP dan DKFM.
Di sisi lain, munculnya ide otonomi pendidikan di masa Indonesia sedang dihantam krisis ekonomi berkepanjangan ini lalu diartikan juga sebagai ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan dana kepada dunia pendidikan akibat krisis. Anggaran subsidi pendidikan yang jumlahnya kecil pun terpaksa harus dipangkas lagi agar tidak terlalu membebani APBN. Padahal tujuan otonomi pendidikan itu sangat luhur dan mulia karena bercita-cita dapat mengangkat mutu pendidikan bangsa kita. Dan pemerintah pun seharusnya memiliki perhatian yang besar agar pendidikan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat bangsa ini sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 31. Jadi, otonomi pendidikan itu sebenarnya sebagai pembebas atau justru penindas? Dikatakan pembebas karena dengan adanya otonomi pendidikan dunia pendidikan khususnya perguruan tinggi dapat menyelenggarakan sistem pendidikannya secara bebas sesuai dengan tujuan, kebutuhan, dan tuntutan kemajuan zaman. Sistem pengajaran, kurikulum, metode, dan ilmu yang diberikan dapat disesuaikan dengan dengan kebutuhan dan tidak lagi sepenuhnya mengacu kepada ketentuan baku dan tunggal yang ditetapkan pemerintah. Dengan demikian dunia akademis yang sehat dengan kreativitas dan daya kritis yang tinggi dari para peserta didik dapat tercapai, akhirnya cita-cita untuk dapat menghasilkan sebuah mutu pendidikan yang baik pun akan tercapai. Di sisi lain otonomi pendidikan dikatakan sebagi penindas karena otonomi justru menimbulkan beban dari segi finansial karena otonomi diartikan sebagai pembebanan dana pendidikan kepada peserta didik yang akhirnya pendidikan hanya dapat dinikmati oleh sebagian kalangan yang berpunya saja.
Pembebas atau penindas, dilema otonomi pendidikan inilah yang pada hari Selasa, 22 Maret 2001 lalu dijadikan pokok bahasan dalam seminar yang digelar oleh Departemen Pelatihan dan Kajian Senat Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang bertempat di Auditorium Pusat Studi Jepang UI. Seminar ini pada sesi pertama menghadirkan dua orang pembicara yaitu mantan Dekan FSUI Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono sebagi pengamat pendidikan nasional dan Prof. Dr. HP Parawansa dari komisi VI DPR-RI yang menangani masalah pendidikan. Sapardi memberikan komentarnya mengenai kurikulum pendidikan nasional, khususnya pendidikan tinggi, di mana sebenarnya di setiap daerah di mana perguruan tinggi itu berada kurikulum yang dikembangkan dapat disesuaikan dengan kondisi dan potensi yang ada di daerah tersebut. Dan hal ini sesuai dengan semangat otonomi pendidikan dan otonomi daerah itu sendiri. Sementara Parawansa menejelaskan bahwa permasalahan-permasalahan pendidikan menurutnya belumlah menjadi wacana yang dibicarakan luas oleh masyarakat sebagaimana halnya permaslahan-permasalahan politik sehingga hal inilah yang mungkin membuat persoalan pendidikan nasional menjadi kelihatan tidak begitu diperhatikan.
Lalu dalam sesi kedua seminar tesebut, hadir Dr. Arief Rahman, seorang pengamat pendidikan yang juga pengajar di Universitas Negeri Jakarta. Arief Rahman, dengan gayanya yang menarik, memaparkan bahwa otonomi pendidikan itu sebaiknya diambil manfaat dan keuntungannya untuk kemajuan pendidikan itu sendiri. Beliau pun mengungkapkan bahwa dalam pendidikan itu pada hakekatnya bukan saja transfer of knowledge atau transfer pengetahuan saja, melainkan juga harus ada transfer of value atau transfer nilai. Hal ini penting agar pendidikan tidak saja menghasilkan orang-orang yang pandai saja tetapi juga memiliki moral yang baik dan memiliki iman dan taqwa yang tebal sehingga dapat membawanya pada kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Selain Arief Rahman dalam sesi kedua ini hadir pula sebagai pembicara pejabat dari Dirjen Dikti Depdiknas yang mewakili Mendiknas Yahya Muhaimin yang berhalangan hadir dan juga perwakilan dari Rektorat UI yang mewakili Rektor UI Asman Boedisantoso yang juga tidak dapat hadir.
Dalam seminar tersebut timbul pemikiran bahwa otonomi pendidikan itu pada dasarnya baik dan tujuannya pun baik, dan untuk hal-hal yang kontroversial yang dianggap karena adanya kurang komunikasi khususnya antara pemerintah, penyelenggara pendidikan, dan juga mahasiswa sebagai peserta didik, dapat dibicarakan bersama-sama agar tercapai solusi yang saling menguntungkan. Posisi peserta didik, khususnya mahsiswa, pun harus ditempatkan di tempat yang sesuai dan harus pula memiliki akses yang cukup dalam penyelenggaraan pendidikan dan dalam perumusan kebijakan-kebijakan seperti kebijakan otonomi kampus. Hal ini penting karena mahasiswalah yang nantinya akan menerima kebijakan-kebijakan tersebut. Lalu yang tak kalah pentingnya adalah pemerintah baik eksekutif dan legislatif harus lebih serius dalam menangani masalah pendidikan nasional sesuai dengan amanat UUD 1945 agar tujuan nasional bangsa Indonesia yang salah satunya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dapat terwujud.

Resolusi Konflik Berbasis Kearifan Lokal

Abdur Rozaki*

Konflik dan kekerasan dalam tujuh tahun terakhir ini di Indonesia telah meluluh lantahkan banyak hal, ikatan kekerabatan, persaudaraan dan solidaritas sosial. Belum lagi ribuan nyawa yang melayang sia-sia, harta benda yang terjarah dan hangus terbakar, ikut sirna meninggalkan pemiliknya. Tidak sedikit diantara mereka yang menjadi korban utamanya, dengan perasaan luka hati yang perih meratapi nasibnya. Duka lara, dan mungkin perasaan dendam berkecamuk dan sepertinya tak tahu lagi kemana harus mencari obat penyembuhnya.
Negara yang seharusnya menjadi pelindung dan pengobat dari rasa luka dan duka itu justru tak mampu berbuat apa-apa. Bahkan tidak sedikit yang mensinyalir negara ikut bermain api dalam operasi konflik dan kekerasan atas masyarakat. Lihat saja peristiwa di Ambon, hanya karena percekcokan kecil antara penumpang dengan kondektur bus, api konflik berkobar dan meluas menjadi konflik horisontal dan memakan waktu hampir empat tahun lebih untuk memadamkannya. Itu pun belum tuntas betul, sebab terkadang percikan api kecil dapat muncul dan sewaktu-waktu dapat saja kobarannya membesar. Begitu pula dengan peristiwa yang terjadi di Sambas Pontianak, percekcokan antar anak muda keturunan etnis Madura dengan Dayak di acara pagelaran musik dangdut mencuat membentuk lingkaran api kekerasan horisontal.
Menanggapi berbagai konflik dan kekerasan yang mengorbankan masyarakat itu, seorang artis yang baru saja menyelesaikan studi S2-nya di Universitas Indonesia, yakni Rieke Diah Pietaloka mengatakan, kekerasan yang selama ini dilakukan oleh negara itu, kini telah menular ke masyarakat. Praktik otoritarian, seperti tindakan represif, mengadili orang tanpa bukti, memeras hak-hak ekonomi dan politik rakyat dan sejenisnya menciptakan transfer bentuk otoritarian itu ke dalam sikap dan tindakan masyarakat. Praktek kekerasan dan intoleran negara ‘diteladani’ dengan sarkasme pula oleh masyarakat. Untuk memperjelas contoh, lihat saja tayangan televisi dan ragam berita di koran, warga masyarakat dengan mudah bertikai dan mengambil jalan kekerasan hanya karena persoalan yang sesungguhnya sepele. Ada orang dibunuh oleh tetangganya sendiri hanya karena dituduh sebagai tukang santet. Ada bapak yang tega membunuh atau memperkosa anaknya. Ada maling yang mengambil harta dan sekaligus menghabisi nyawa pemiliknya dan banyak lagi kisah sejenis lainnya.
Kearifan lokal seperti nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, persaudaraan dan sikap ketauladanan lainnya mulai banyak terkikis di dalam lingkungan budaya masyarakat. Visi dan ideologi pembangunan yang lebih mendepankan pertumbuhan ekonomi, perkembangan fisik, dan material dibandingkan dengan nilai spritualitas dan kearifan lokal (local wisdom) dipropagandakan oleh mesin-mesin negara, dalam banyak hal mempengaruhi cara berfikir dan bertindak sebagaian besar anggota masyarakat. Kini keberhasilan dan kesuksesan seorang tokoh masyarakat (elite) tidak lagi diukur sejaumana peran sosialnya dan pengabdiannya di tengah masyarakat, tapi kekayaan yang dimilikinyalah yang menjadi ukuran. Masyarakat dalam banyak kini sudah teracuni oleh modernisme budaya konsumtif, egois dan praktek menghalalkan segala cara. Nilai-nilai kemodernan itu menggeser kearifan budaya lokal komunitas. Benturan nilai itu tidak jarang membuat masyarakat pun mulai mengalami krisis identitas.

Cermin Kearifan Lokal
Di tengah gelombang kekerasan, keserakahan dan krisis identitas budaya lokal yang telah melumat habis ikatan kemanusiaan dan kebersamaan di banyak tempat di tanah air, ternyata masih ada kekuatan yang terus dipelihara untuk memperkuat teladan dan kearifan budaya di kalangan masyarakat adat Musirawas Sumatera Selatan (Sumsel). Kearifan menyelesaikan konflik, pertikaian melalui pendekatan kemanusiaan dan persaudaraan yang sangat luhur. Kearifan budaya itu berupa tradisi mempergunakan media tepung tawar dalam meresolusi konflik.
Menurut Bapak Zainal Kudus, pemangku adat desa Terawas, apabila ada konflik, kekerasan yang saling melukai satu sama lain, dengan menggunakan tradisi tepung tawar itu, diantara orang yang bertikai dapat saling berdamai dan akur kembali. Ia menceritakan pengalaman konflik antara pemuda desa Terawas dengan pemuda tetangga desa sebelahnya saat acara dangdutan. Kedua pemuda itu sudah saling melukai walaupun belum ada yang terbunuh. Konflik antar kedua pemuda itu sudah berkembang aromanya ke arah konflik antar komunitas adat. Namun tokoh adat setempat segera berinisiatif menemui sang keluarga yang bertikai untuk mencari kebenaran asal usul dan penyebab pertikaian. Setelah diketemukan, tutur Zainal, tokoh adat dari pihak yang bersalah itu kemudian mendatangi keluarga pihak yang bertikai lainnya sambil membawa “Punjung Mentah” yakni sebagai alat atau sarana yang harus dibawah kepada keluarga korban atau yang tidak bersalah dalam konflik itu, di dalamnya berisi kopi, gula dan beras 2 kilo. 1 ekor ayam dan sebungkus rokok.
Punjung mentah itu sebagai bentuk ungkapan penyesalan dan permohonan maaf kepada keluarga korban. Kalau sudah punjung mentah ini dibawa, biasanya keluarga korban merasa puas dan dihormati dan langsung menerima ungkapan maaf itu dengan lapang dada tanpa ada perasaan dendam. Usai pemberian punjung mentah, kemudian dilanjutkan dengan tradisi tepung tawar, pemuda atau orang yang saling bertikai itu kemudian saling mengoleskan tepung tawar di badannya. Sesudah itu, maka kedua pemuda yang bertikai tadi sudah dianggap menjadi bagian dari saudaranya sendiri. Usai melakukan tradisi punjung mentah dan tepung tawar, konflik yang sudah makin memanas itu kemudian menjadi reda, ungkap Zainal berapi-api. Ia sendiri sebagai pemangku adat cukup sering menjadi ‘duta’ perdamaian dan melakukan tradisi lokal semacam itu. “kalau semua konflik harus diselesaikan secara hukum, nyatanya makin repot dan konfliknya makin tak terurus, selain karena aparat negara lambat, masyarakat juga kurang puas, hasilnya jauh lebih ampuh dengan pendekatan adat atau budaya lokal,” ungkap Zainal.
Media tepung tawar ini tidak hanya berlaku bagi komunitas yang seidentitas budaya saja, tapi juga dapat dilakukan oleh orang luar yang kebetulan sedang berselisih paham atau berkonflik dengan orang adat Musirawas. Seperti dalam penuturan Jazuli, peneliti lokal IRE yang berasal dari trah orang Jawa, sepeda motor yang dikendarainya tanpa sengaja pernah menabrak seseorang, untuk meredam konflik dan kekerasan ia melakukan tradisi tepung tawar, orang dusun (sebutan bagi orang adat asli Musirawas) yang ditabrak tadi kemudian tidak lagi marah-marah dan mau berdamai serta menganggapnya saudara. “itulah hebatnya budaya”, aku Jazuli. Memang seolah sulit dinalar karena praktek demikian sangat menyentuh emosi, rasa, nurani dan kehormatan diri. Ketika budaya itu diangkat, diakomodasi, dan dijunjung tinggi maka sang pelaku budaya itu pun merasa harga diri dan ideologinya dihormati. Sebaliknya bila tradisi itu ditanggalkan, dilecehkan maka perlawanan pun dapat muncul dengan spontan dan dapat mengobarkan nafsu perang komunitas yang dahsyat.
Lain Musirawas, lain pula di Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya di kabupaten Soe. Masyarakat adat disana memiliki kearifan lokal yang tidak kalah unik dalam menciptakan resolusi konflik. Namanya tradisi “okomama”, yakni sebuah kotak dengan aneka ukuran yang diluarnya dibalut dan dilapisi kain tenunan adat yang di dalamnya diisi sirih pinang dan kapur. Bila ada konflik atau pertikaian di dalam masyarakat upaya untuk meredamnya adalah dengan cara mempertemukan kedua belah pihak yang bertikai untuk berjanji dan bersumpah bahwa tidak akan ada lagi permusuhan, yang ada hanyalah perdamaian. Sumpah danjanji itu dilakukan dengan saling memasukkan kedua tangan yang saling bertikai di dalam wadah okomama itu. Usai itu mereka saling berangkulan dan saling mengunyah siring pinah di dalam okomama.
Okomama adalah simbol yang menandai adanya tali persaudaraan, dan persahabatan di NTT. Sebagaian besar orang adat NTT, mulai anak muda, laki atau perempuan dan orang tua mengunyah siring pinang karena sudah menjadi tradisi nenek moyang mereka. Tak heran bila kita melihat mereka, terutama di pelosok pengunungan terlihat warna memerah mengiasi bibir mereka.
Orang luar NTT kalau ingin mudah diterima sebagai saudara atau sahabat sejati, biasanya ketika datang langsung ditawari sirih pinang okomama, kalau sang pendatang itu ternyata tidak terbiasa, maka cukup memasukkan tangannya ke dalam (wadah) okomama itu. Usai itu maka sang tamu atau pendatang dengan mudah diterima sebagai sabahat sejatinya. Namun bila sang tamu atau pendatang tidak mau mengunyah siring pinang atau juga tidak mau memasukkan tangannya ke dalam wadah okomama, biasanya masyarakat adat disitu menaruh curiga dan was awas khawatir ada niat tidak baik dari tamu atau seseorang yang baru dikenalinya itu. Para peneliti IRE hampir sebagian besar yang ke bumi NTT atau mereka lebih senang menyebut Timor Tengah Selatan (TTS) melakukan tradisi okomama itu.

Upaya Merawatnya
Kalau ditelusuri lagi, tentu akan banyak kita temukan berbagai bentuk kearifan lokal masyarakat adat di tanah air ini. Tradisi humans di atas hanyalah seklumit contoh betapa masyarakat kita memiliki akar budaya dalam membangun integrasi sosial melalui penghayatan dan pemahaman yang tinggi akan nilai-nilai kebersamaan dan kemanusiaan. Nilai-nilai itu sangat inklusif karena mengajarkan dan memberi tauladan yang beradab bagaimana cara mengatasi konflik, emosi, dan nafsu kepentingan dengan jalan mengubur kekerasan dan api dendam.
Tugas selanjutnya yang maha penting adalah bagaimana memelihara dan merawat kearifan lokal itu agar senantiasa hidup dan menyala di dalam hati nurani manusia Indonesia. Kalau nilai itu terus dipupuk, dirawat dan selalu menjadi ikhtiar dan tindakan seluruh manusia Indonesia, mungkin tak akan ada lagi anak yang harus kehilangan bapak atau ibunya hanya karena beda agama, aliran politik, etnisitas dan aroma rasis lainnya. Juga tak akan ada lagi rumah dan harta beda yang dijarah dan dibakar hanya karena perbedaan identitas. Kita percaya bahwa setiap konflik itu ada resolusinya. Dan para leluhur kita telah memberikan peninggalan atau warisan nilai untuk itu. Kini tinggal tekad kita, mau menggunakan atau membuangnya.

*Penulis adalah staf Peneliti IRE Yogyakarta

Biografi Singkat Bung Hatta


Mohammad Hatta
Sang ProklamatorMohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya.Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.Masa Studi di Negeri BelandaPada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923. Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik.Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul "Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen"--Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif. Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa.PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi.Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi internasional.Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu.Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi "Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan" di Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta L 'Indonesie et son Probleme de I' Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan). Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama "Indonesia Vrij", dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka.Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.Kembali ke Tanah AirPada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya. Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul "Soekarno Ditahan" (10 Agustus 1933), "Tragedi Soekarno" (30 Nopember 1933), dan "Sikap Pemimpin" (10 Desember 1933).Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.Masa PembuanganPada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, "Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan" dan "Alam Pikiran Yunani." (empat jilid).Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain. Kembali Ke Jawa: Masa Pendudukan JepangPada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta. Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya, apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944.Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."ProklamasiPada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa.Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti.Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan riuh.Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta.Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwitunggal.Periode Mempertahankan Kemerdekaan IndonesiaIndonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda.Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana. Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata.Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana.Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.Periode Tahun 1950-1956Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya.Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul “Lampau dan Datang”.Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus.Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara. Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.


Nama:Dr Mohammad Hatta(Bung Hatta)

Lahir:Bukittinggi, 12 Agustus 1902

Wafat:Jakarta, 14 Maret 1980

Istri:Rahmi Rachim (alm)

Anak:Meutia FaridaGemalaHalida Nuriah

Gelar Pahlawan:Pahlawan Proklamator RI tahun 1986

Pendidikan:Europese Largere School (ELS) di Bukittinggi, 1916Meer Uirgebreid Lagere School (MULO) di Padang, 1919Handel Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang) di Jakarta, 1921Nederland Handelshogeschool di Rotterdam, Belanda (dengan gelar Drs), 1932

Kegiatan:Bendahara Jong Sumatranen Bond, di Padang, 1916-1919Bendahara Jong Sumatranen Bond, di Jakarta, 1920-1921Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda, 1925-1930Wakil delegasi Indonesia dalam gerakan Liga Melawan Imperialisme dan Penjajahan, di Berlin, 1927-1931Ketua Panitia Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru), 1934-1935Kepala Kantor Penasihat pada pemerintah Bala Tentara Jepang, April 1942Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan, Mei 1945Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, 7 Agustus 1945Proklamator Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945Wakil Presiden RI pertama, 18 Agustus 1945Wapres merangkap Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan, Januari 1948-Desember 1949Ketua Delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dan menerima penyerahan kedaulatan dari ratu Juliana, 1949Wapres merangkap Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Kabinet RIS, Desember 1949-Agustus 1950Mengundurkan diri dari jabatan Wapres, 1 Desember 1956Dosen di Sesko AD, Bandung, 1951-1961Dosen di UGM, Yogyakarta, 1954-1959Penasihat Presiden dan Penasihat Komisi IV tentang masalah korupsi, 1969Ketua Panitia Lima yang bertugas memberikan perumusan penafsiran mengenai Pancasila, 1975


*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia), dari Buku Makam Bung Hatta 1982 dan berbagai sumber)

Kepemimpinan Gaya Bung Hatta


Ilmu ekonomi neoklasikal maupun manajemen konvensional, bagaimanapun juga adalah ilmu ekonomi dan manajemen yang solid. Ilmu ekonomi neoklasikal dan manajemen konvensional telah dengan utuh mewujudkan diri dalam buku-buku teks yang hebat dan sistematik, yang telah tersebar luas serta mendominasi pengajaran dan pendidikan ilmu ekonomi dan kepemimpinan hampir di seluruh dunia dan telah menjadi “bahasa dunia”. Ini telah berlangsung dalam waktu yang cukup lama, katakanlah sejak edisi pertama buku pengantar ekonomi yang diluncurkan oleh Paul A.Samuelson hampir setengah abad yang lalu. Buku ini hingga edisi kedelapan belasnya saat ini, berikut buku-buku teks sejenisnya, dengan kukuhnya telah memasyarakat di seluruh kampus kita. Maka terbentuklah mindset liberalisme ekonomi dan competitive (belaka) pada sarjana-sarjana ekonomi lulusan kampus-kampus kita. Leiberalisme berdasar individualisme atau “asas perorangan” yang melahirkan akhlak dan perilaku bersaing dan bertarung telah membudaya sebagai pola pikir pada ahli-ahli ekonomi kita. Sedangkan berdasar ideologi negara kita, berdasar undang-undang dasar kita, kita telah berketetapan untuk lebih menganut paham kolektivitas dan kooperativesme, atau “kebersamaan dan asas kekeluargaan” (mutuality and brotherhood) berikut segala aspek kelembagaan yang hidup menyertainya.
Kooperativisme teleh berkembang sebagai gerakan koperasi yang mengglobal yang diwakili oleh the International Cooperative Alliance (ICA) sebagai organisasi puncak bagi gerakannya sejak lebih dari 100 tahun yang lalu. Sugden, telah memberi angin bagi kooperativisme untuk di kenal oleh kaum ekonom maupun kepemimpinan mainstream yang berorientasi dasar kompetitivisme. Pandangannya yang disinggung oleh Amartya Sen dalam kerangka rasionalitas ekonomi, , telah mengingatkan kelompok mainstream itu bahwa paham kooperativisme memiliki legitimasi mendasar dalam pemikiran ekonomi maupun kepemimpinan.
Dengan menyadari perbedaan mendasar dari dua paradigma dan moralitas ekonomi yang dikandung oleh masing-masing, yaitu asas perorangan vs asas kekeluargaan, maka kita dituntut untuk dapat melahirkan koreksi-koreksi kreatif, pembaruan-pembaruan dan terobosan-terobosan inovatif dalam pengajaran ilmu ekonomi dan kepemimpinan. Menurut Sri Edi Swasono, ibaratnya paragraf demi paragraf dan bab demi bab harus kita kritisi secara mendasar. Hal ini harus kita lakukan sambil menunggu hadirnya uku teks baru yang lebih lengkap dan solid untuk menggantikan buku-buku teks neoklasikal konservatif-konvensional yang saat ini mendominasi kampus-kampus kita dan secara tidak sadar sudah masuk ke dalam jiwa kita. Kita semua bertanggungjawab untuk membentukkan suatu mindset baru (normative ideologis) pada diri para anak didik kita agar ilmu ekonomi maupun kepemimpinan benar-benar utuh sebagai ilmu moral. Ini merupakan tugas reformatif bagi kampus-kampus kita. Asas kebersamaan dan kekeluargaan yang diluluhlantakkan oleh kapitalisme (neoklasik), perlu dibangun kembali untuk menemukan kepemimpinan yang ampuh untuk perusahaan-perusahaan Indonesia. Kepemimpinan harus berdasarkan moral dan itulah kepemimpinan yang dikehendaki oleh Muhammad Hatta.

Sabtu, 04 April 2009

Resensi Buku: Kekuasaan dan Pendidikan, Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural


Judul Buku : Kekuasaan dan Pendidikan; Suatu Tinjauan dari Pespektif Studi Kultural
Penulis : H.A.R. Tilaar
Penerbit : IndonesiaTera
Tahun Terbit : 2003
Jumlah Halaman : 351


Ilmu pendidikan modern berpijak pada analisis kebudayaan sebagai tempat praksis pendidikan terjadi. Hal ini dibedakan dengan ilmu pendidikan tradisonal yang bertolak pada peserta didik atau kepada proses yang terjadi (baca: sekolah). Adapun studi kultural merupakan wacana pemikiran yang menyeluruh mengenai kebudayaan suatu masyarakat secara keseluruhan. Studi tersebut meliputi seluruh aspek kehidupan budaya manusia dalam lingkungan masyarakat tertentu, diantaranya proses pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kegiatan-kegiatan kebudayaan lainnya dan bersama-sama bagian kebudayaan lainnya ikut mempengaruhi proses pembentukan kebudayaan.
Demikian penulis buku ini berujar mengenai pendidikan dan studi kultural. Kehadiran buku ini melengkapi pemikiran H.A.R. Tilaar dalam bidang pendidikan. Walau sudah mulai termakan usia, Profesor Tilaar merupakan seorang penulis produktif. Beberapa buku tentang pendidikan yang ditulisnya adalah buku dengan konten berbobot dan lumayan berat. Salah satunya adalah buku Kekuasaan dan Pendidikan ini.
Ditulis dengan menggunakan pendekatan studi kultural, pembaca akan diajak menyelami pemikiran Gramsci mengenai konsep hegemoni sampai Niccolo Machiaveli. Beberapa pemikir besar lainpun ia hadirkan untuk melengkapi pisau analisis pendidikan. Chomsky, Schopenhaur, John Dewey, Fukuyama, Foucault, Giddens, Giroux, Huntington, merupakan sederetan pemikir yang dijadikan rujukan oleh Tilaar dalam buku ini. Rujukan-rujukan tersebut merupakan bukti keseriusan beliau mendalami dan membaca setiap pemikiran yang muncul.
Mengenai konsep kekuasaan dalam hubungannya dengan pendidikan, Tilaar menyatakan bahwa kekuasaan dalam pendidikan adalah kekuasaan yang bersifat transformatif. Tujuannya ialah dalam proses terjadinya hubungan kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dengan subjek yang lain. Kekuasaan yang transformatif membangkitkan refleksi, dan refleksi tersebut membangkitkan aksi. Orientasi yang terjadi dalam aksi tersebut merupakan orientasi yang advokatif (hal. 88).
Walaupun cukup berat untuk dipahami, pendekatan yang dilakukan oleh Tilaar akan sangat membantu kita dalam memahami relasi kekuasaan dan pendidikan. Pun kita juga akan terbantu dalam menerapkan konsep dan teori kekuasaan dalam pendidikan, dan menghubungkannya dengan realitas yang terjadi di Indonesia mengenai kekuasaan dan pendidikan.